Persetan dengan festival, Jelita dan Hisyam langsung pergi meninggalkan panggung dengan segala hiburannya itu.
Setelah lagu berakhir, Hisyam langsung menarik Jelita keluar dari kerumunan. Mobilnya ia bawa dengan kencang, tangannya tidak melepas genggaman Jelita sama sekali. Mereka membutuhkan tempat yang nyaman untuk mengobrol, dan satu-satunya tempat yang ada di kepala Hisyam hanyalah apartementnya.
Anehnya, bahkan setelah berpelukan tidak ada habisnya seperti tadi, mereka masih saling diam. Bahkan sampai mereka sudah duduk berdampingan di atas sofa seperti ini, Hisyam hanya menunduk diam sambil mengelus kaki Jelita yang berada di atas pahanya.
Jelita mengelus belakang kepala Hisyam, tepat di tempat yang terkena lemparan sepatunya tadi. “Aku salah karena gak bilang ke kamu waktu mau ketemu kak Jo,”
Hisyam hanya mengangguk kecil.
“Tapi aku akhirnya bisa selesain semuanya, Syam. Aku fikir aku bakal ngamuk marah-marah waktu akhirnya bisa berhadapan sama dia, ternyata enggak. Ternyata selama ini yang aku butuhin cuma rasa tanggung jawab dia buat minta maaf.”
Hisyam akhirnya menatap Jelita, tangannya masih bergerak mengusap kaki perempuan itu.
“Terus selama aku ngobrol sama dia aku baru sadar, aku bisa setegar itu ketemu sama dia ya karna ka—“ ucapan Jelita terpotong, Hisyam meraih tengkuknya cepat dan memagut bibir Jelita lembut. Laki laki itu menyalurkan segala rindunya, diangkatnya tangan Jelita untuk bersandar mengelilingi lehernya. Ia terus mengulum bibir Jelita, membiarkan perempuan dihadapannya ini merasakan betapa merindunya ia. Hisyam mengecup bibir bawah Jelita lembut sebelum akhirnya melepaskan pagutannya.
“I know, sayang.. i know.” ujar Hisyam sambil mengangguk kecil.
Ia menatap Jelita sendu, kedua tangannya masih memegang wajah Jelita. “Did i make you suffer?”